CMA, Gelang Pintar Pantau Kondisi Pasien Covid Karya Mahasiswa
Tiga mahasiswa Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) berinovasi menciptakan gelang pintar. Ketiga mahasiswa itu adalah Iqbal Pradana, Heri Nur Alim dan Yohanes Dimas, mahasiswa semester empat jurusan D4 Teknik Elektronika.
Gelang pintar ini berfungsi memantau kondisi pasien covid-19. Mulai dari mengetahui pergerakan atau lokasi pasien, mendeteksi suhu tubuh, detak jantung, dan kadar oksigen dalam darah.
“Dengan gelang ini pasien bisa dimonitor di mana pun dan kapan pun” cerita Heri kepada Ngopibareng.id melalui sambungan telepon, pada Minggu 31 Mei 2020.
Ide untuk membuat gelang pintar terinspirasi dari salah satu produk teknologi buatan China yang dapat membaca detak jantung. Sementara itu, gelang pintar karya dia dan timnya dinamai Covid-19 Monitoring Assitance (CMA).
CMA dilengkapi dengan dua sensor khusus seperti LM35, dan Max30100. Kedua sensor diletakkan pada tempat yang berbeda. LM35 dipilih lantaran memiliki tingkat kesalahan pengukuran suhu kurang dari 0.5 derajat Celsius. Sensor ini diletakkan pada bagian pergelangan tangan. Di sisi lain, agar data akurat, sensor Max30100 diposisikan pada jempol pengguna.
“Kami memilih sensor dengan tingkat eror yang minim. Peletakan sensor sendiri berdasarkan pertimbangan keakurasian data” tambahnya.
Terdapat pula microcontroller ESP8266 dan GPS neo m8n. Sehingga, data yang terbaca saat gelang dipakai pengguna, dapat dipantau secara langsung melalui aplikasi yang sudah dirancang. Data ini pun mampu menampilkan 5-10 data realtime pendeteksian keempat elemen.
Pada aplikasi tersebut terlihat data detak jantung, suhu tubuh dan kadar oksigen dalam darah sekaligus statusnya. Selain itu terdapat pula notifikasi jika gelang sedang digunakan atau dilepas.
Untuk dayanya sendiri, diperoleh dari baterai berjenis Lithium Polimer (LiPo) 405 mah, dengan 3.7 volt. LiPo diplih lantaran ukurannya yang kecil, namun memiliki daya listrik yang besar.
Karena disuplai baterai LiPo, pengguna bisa mengisi ulang daya nya menggunakan port USB. Waktu yang disarankan selama satu jam. Terlebih, jika baterai penuh, terdapat indikator lampu LED berwarna merah.
Di samping itu, pengoperasian CMA tidak lah sulit. Pengguna hanya perlu menekan tombol on yang tersedia, seketika itu semua komponen yang ada langsung berfungsi.
Dirakit Dua Minggu
Untuk membuat perangkat ini Heri dan tim mengerjakannya secara paralel di tempat yang terpisah selama dua minggu. Heri berkomunikasi dengan kedua rekannya melalui Whatsapp dan membagi tugas menjadi tiga.
Iqbal bertugas mengatur penempatan elektriknya agar terlihat rapi. Sementara itu, Heri membeli komponen yang dibutuhkan lalu merangkai bahan tersebut menjadi satu sistem utuh yang berfungsi. Selain itu mengunggah data yang terbaca oleh komponen ke database. Tahap terakhir, Dimas bertanggung jawab merancang aplikasi. Ketika semua komponen selesai, alat lalu dikalibrasi.
Meski terkendala jarak dalam berinteraksi untuk merakit CMA, beruntung semua komponen yang dibutuhkan mudah dijangkau dan tersedia di pasaran.
“Kami membuatnya secara paralel namun terpisah, setelah selesai baru digabung jadi satu. Kesusahan kami ya dalam berkoordinasi dan kalibrasi alat” tambahnya.
Sayangnya CMA ini belum bisa diproduksi secara masal. Masih ada beberapa perbaikan yang perlu dilakukan. Antara lain mengembangkan daya pemakaian baterai, dan berkoordinasi dengan tenaga medis agar alat bisa dimanfaatkan sesuai kebutuhan mereka. Selain itu membuat web browser agar memperluas jangkaun pemantauan kondisi pasien. Sehingga tidak terbatas pada aplikasi saja.
“Kami kedepannya ingin mengembangkan pada baterai agar lebih tahan lama. Selain itu berkoordinasi dengan medis agar sesuai dengan kebutuhan mereka, serta membuat web browser” tutupnya.