Cerita Tukang Ikan Setelah Capek Berburu Ringgit Malaysia
Mulanya ia hanya mengintip ikan koi di empang orang. Dari mengintip lalu jadi suka. Setelah suka mengintipnya kian menjadi-jadi. Untungnya yang diintip berbaik hati membagi pengetahuan. Selanjutnya jadilah dia, si pengintip itu, menjalani profesi sebagai tukang ikan.
Pengalaman unik ini menuntun Aris Andrianto, 44 tahun, menjadi jadi terkenal di Kota Blitar. Inovasinya, pada kelompok budidaya ikan koi, atau Mina Kebon Sari yang didirikannya, menginspirasi kalangan muda untuk berbondong-bondong antri agar seperti dirinya, atau apalah.
Ada yang sekadar melihat kolam ikan koi miliknya yang penuh eksperimen. ada yang mencoba melihat peluang untuk berbisnis, dan sekian banyak lagi yang ingin menjadi seperti dirinya.
Di rumahnya di Dusun Kebon, Kelurahan Blitar, Kecamatan Sukorejo, Aris dengan terbuka berkisah kalau perjuangannya berbisnis budidaya ikan koi ini benar-benar dimulai dari paling bawah. Dari sesuatu yang sangat tidak berarti.
Perasaan dari tidak berarti itulah membuat dirinya jadi kurang yakin dengan apa yang digeluti. Akhirnya bisnis ini sempat ditinggalkan untuk mengejar rupiah ke Malaysia seperti pemuda kampung lainnya.
Sempat jadi tukang las selama dua tahun di Malaysia. Lalu pulang ke Indonesia dan menjadi pedagang. “Tapi juga tidak cocok,” katanya.
Aris tahu bahwa dirinya harus memutuskan, apa yang harus dilakukan untuk mengantarnya menjalani kehidupan. Pilihan pun jatuh kembali kepada budidaya ikan koi yang pernah digelutinya.
Aris lantas membuka lembaran baru, namun sejatinya ia mengulang kisah lama. Perkenalan Aris dengan ikan koi yang begitu digadrungi di banyak negara ini bisa dikata tanpa sengaja.
Bermula saat bersepeda ria di kawasan Nglegok, Kabupaten Blitar tahun 1996. Selain terkenal Candi Penatarannya, Nglegok rupanya juga menyimpan para pedagang ikan hias, jenis ikan koi yang digemari. Saat melihat empang ikan ia lantas mengintip.
Hatinya langsung hanyut begitu melihat ikan-ikan di dalam empang itu. Mulanya ia tidak tahu ikan apa yang berwarna totol-totol cantik itu. Belakangan ia baru tahu itulah yang disebut ikan koi.
Ternyata empang itu milik seorang juragan ikan bernama Pak Thungkel. Ia adalah pesohor ikan koi di kawasan Nglegok. Esoknya Aris datang lagi ke tepi empang untuk melihat ikan. Aktivitas diam-diam ini pun akhirnya terjadi hampir setiap hari. Dus, berkenalanlah Aris dengan Pak Thungkel. Rupanya sang pesohor ikan ini melihat minat yang besar dalam diri Aris. Dalam kesempatan yang lain, setelah keduanya cukup akrab, Aris dipinjami lahan dan diberi ikan olehnya.
Mendapat kesempatan emas itu Aris kontan menempatkan diri di bawah usaha Pak Thungkel. Tanpa dibayar. Aris membatu apa saja untuk keperluan ikan koi juragan tersebut. Seiring dengan kepercayaan Pak Thungkel, Aris ikut menyeleksi benih ikan-ikan koi yang hendak dibesarkan atau dipasarkan.
Sebagai upah kerja kerasnya, ia diberi benih ikan koi. Hingga akhirnya pemberian itu mencapai 1000 ekor. Ini adalah hal yang tak terlupakan dalam hidupnya, sebab ternyata pemberian itu dimaksudkan Pak Thungkel sebagai modal kerja bagi Aris untuk memulai sebuah usaha budidaya ikan.
“Untuk mengawali usaha saya menyewa sawah beberapa petak. Beberapa kali juga berhasil panen dan cukup menguntungkan. Saya serahkan semuanya ke beliau sebab modal semua berasal darinya. Namun ia malah menolak. Bagi Pak Thungkel yang sudah seperti bapak saya itu, usaha ini bukan sebagai saingan dari usaha miliknya. Tapi lebih sebagai partner dalam usaha,” kata Aris.
Ketika pengalamannya budidaya koi ini makin baik, tiba-tiba muncul isu dari kolektor-kolektor koi di Jakarta yang menyebutkan bahwa ikan koi asal Blitar tidak ada yang bagus. Katanya, bagaimana mau bagus wong memeliharanya di sawah. Ini yang membuat ikan koi asal Blitar menjadi gonjang-ganjing harga pasarannya. Terpancing dengan isu ketus itu, diam-diam Aris berburu pengetahuan soal budidaya ikan lebih luas. Budidaya ikan apa saja. Ia blusukan ke berbagai kota dan kampung-kampung yang memiliki sentra ikan terutama yang memiliki inovasi.
Dari pengalamannya berkeliling itu terbetiklah satu ide, kenapa ikan koi tidak di budidaya saja di kolam terpal seperti umumnya budidaya ikan lele di beberapa daerah. Ide itu meski dirasa tak cocok untuk koi tetap saja dicobakan. Dan Aris menemui banyak kendala, sebab ikan koi menuntut hidup di air yang terus menerus jernih, sementara di terpal membuat air cepat keruh.
Nyaris saja ide dibuang, dan beralih ke kolam permanen yang terbuat dari semen cor seperti laiknya kolam-kolam standar untuk memelihara ikan koi. Tapi modal bicara lain, ia jelas tak akan mampu membangun kolam cor yang untuk per seribu benih ikan koi paling tidak membutuhkan modal tak kurang dari 50 juta rupiah.
Setelah memutar otak dan serangkaian percobaan, ide kolam terpal itu tak jadi dibuang. Kolam ikan terpal tetap diterapkan dengan tambahan filter-filter air yang ia ciptakan dengan sedikit meniru teknik tetangganya yang sedang membuat tandon air. Cara mengerjakan tandon air yang sederhana itulah yang ia tiru. Bahwa tandon air itu dibangun dengan teknik knock down alias bongkar pasang. Dalam hati ia berpikir, mampukah menahan beban air jika kapasitas tandon airnya besar. Ternyata mampu!
Maka bekerjalah ia membuat filter-filter dengan plat beton penjernih air yang dikreasikan dengan teknik bongkar pasang ala tandon air milik tetangganya. Plus, untuk menghemat biaya Aris memanfaatkan limbah-limbah terutama limbah serutan karung plastik untuk alat penyaring. Serutan plastik itu sekaligus sebagai pengganti biobol alias rumah bakteri penjernih air yang harganya relarif mahal. Per satuannya seharga 130 rupiah, padahal untuk per kubik air membutuhkan biobol tak kurang dari 1000 buah.
Selama tahun 2002-2005 Aris berkutat dengan eksperimen kolam terpal dan filter perjernih dari limbah plastik. Minimal dalam setahun ia melakukan ujicoba 2-3 kali percobaan. Dalam satu kali percobaan minimal pula ia harus merogoh kocek 4 juta rupiah.
Selama hasil percobaan, ternyata ikan koi pertumbuhannya jauh lebih bagus. Ikan menjadi lebih sehat dan warnanya jauh lebih mencorong karena lebih pas dengan suhu kolam terpal. Begitu juga dengan ikan-ikan milik kelompok budidayanya yang diberi nama Mina Kebon Sari.
Di tahun keempat masa percobaan, Aris pun berhasil dengan kolam terpal eksperimennya. Namun ia tak berhenti sampai di situ, kolam-kolam terpal selanjutnya diinovasikan untuk penghematan lahan. Jadi, sekarang, siapa pun bisa memelihara dan berbisnis ikan koi andai ia tidak punya lahan yang cukup di rumahnya. Inovasi Aris akhirnya mendapat sambutan luas di kelompoknya, juga dalam komunitas ikan koi yang lebih besar.
“Untuk standar budidaya ikan koi, prasarana yang dibutuhkan minimal mencapai 50 juta rupiah. Namun inovasi kolam terpal dan filter knock down ini, biaya bisa ditekan sampai hanya di kisaran 14 juta rupiah saja,” beber Aris.
Temuan Aris ini juga membuat dirinya makin mapan secara ekonomi. Kalau dahulu hanya mengadalkan ikan koi penghasilannya per bulan rata-rata 2-6 juta rupiah. Kini dengan menjadi konsultan dari kolam inovasinya ia mampu meraup penghasilan di atas 14 juta rupiah dalam sebulan. Penghasilan meningkat ini juga menular kepada anggota kelompoknya, sebab ikan-ikan dari kelompok Mina Kebon Sari bisa dipastikan akan berkulitas sangat bagus. widikamidi