Balada Supiyati, Menopang Ekonomi Keluarga dari Pasar Cukir
Waktu menunjukkan pukul 06.30 pagi. Supiyati bergegas pergi ke pasar untuk menjajakan dagangannya. Di usianya yang tak lagi muda, perempuan berusia 85 tahun itu masih bersemangat mengais rejeki. Ia bahagaia dengan tabungan sebesar Rp4 juta. Katanya uang simpanan itu bisa digunakan untuk kebutuhan mendesak, seperti jika anak-anaknya meminjam uang mendadak.
Supiyati adalah warga Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang. Setiap harinya ia berdagang ke Pasar Cukir sejak pukul 07.00 hingga 11.00 . Ada menantunya yang membonceng Supiyati dari rumah ke pasar setiap pagi.
Baru satu jam membuka lapak, dua puluh butir telur kampung miliknya sudah ludes diserbu pembeli. Untuk sepuluh butir dibanderol Rp 25 ribu. Telur kampung itu diperolehnya dari pelanggan setianya yang ada di desa Cukir dan Kayangan. Terhitung sudah sejak April 2020, Supiyati berjualan telur kampung.
Sebelumnya, Supiyati berjualan beraneka pisang dan kelapa. Seperti pisang raja, ambon, jaran, sobo, kelapa muda dan tua. Pisang yang dijual berjumlah sepuluh cengkeh, sedangkan kelapanya 50 biji.
Untuk harga pisang sendiri tergantung dari ukurannya. Ukuran besar satu cengkehnya dibanderol Rp 15 ribu. Namun, jika pisangnya kecil ibu lima anak itu tidak mematok harga.
Seringnya, Supiyati mengambil buah-buahan ini setiap pukul 13.00 hingga 15.00. Pisang dipetik langsung dari kebun pelanggannya dengan bantuan galah. Teriknya matahari dan pegalnya badan sudah hal biasa baginya.
Bekerja Sejak Remaja
Sepanjang hidup Wo Supi, tidak pernah mengenyam pendidikan. Sebagian besar waktunya dia pergunakan untuk membantu ibunya berjualan nasi kikil di pasar. Uang yang didapat tak cukup untuk membayar biaya bangku pendidikan.
Wo Supi membantu dari menyiapkan bahan, memasak, hingga melayani pembeli. Waktu itu warung sang ibu buka sejak pukul 04.00 pagi hingga 11.00 siang. Selain itu, Wo Supi juga membantu menyangrai biji kopi dan menghaluskannya dengan penghalus tradisional. Kopi ini dijual sebagai minuman pendamping nasi kikil.
“Dari dulu sejak kecil saya sudah bantu ibu saya jualan di warung nasi. Saya bekerja saja karena waktu itu nggak ada biaya untuk sekolah” ucap Supiyati.
Namun, walau kondisinya sulit, nenek berkulit sawo matang itu tidak pernah menyesali keadaannya. Dia tetap mensyukurinya. Semangatnya bekerja pun masih membara.
Kini, saat ia sudah renta, kedua anaknya sempat melarangnya berjualan. Namun, Wo Supi tidak bisa diam di rumah dan merasa gampang bosan. Menurutnya dia bisa menghasilkan uang dan bercanda dengan rekan pedagang yang lain jika berada di pasar.
“Yang penting sehari saya harus selalu ke pasar untuk berjualan dan dapat uang. Saya nggak bisa diam, di pasar itu saya juga bisa bercanda dengan pedagang yang lain” tambahnya.
Lebih lanjut, Wo supi bisa dibilang ibu yang sangat mandiri. Dia tidak pernah mengandalkan penghasilan dari suaminya yang saat itu bekerja sebagai tukang becak.
Rawat Cucu Sejak Bayi
Sehari-harinya, Supiyati menghidupi seorang cucu yang sudah dirawatnya sejak bayi. Cucu ini merupakan buah hati dari anak kelima, hasil pernikahan keduanya. Ibu cucunya, sakit-sakitan sejak kecil hingga dewasa. Wo Supi pun merawat cucunya sejak bayi, dari memandikan hingga dibawa bekerja ke pasar.
“Saya rawat dia sejak kecil, saya nggak tega karena ibunya sakit-sakitan. Saya bawa ke pasar saat dia bayi kala saya berjualan” tuturnya.
Wo Supi memilih merawat cucunya sendiri dengan banyak pertimbangan. Yang jelas, salah satu alasannya dia ingin memiliki teman yang bisa mendampinginya di masa tua. Terlebih dengan merawatnya sendiri Wo Supi bisa memantau perkembangan cucunya.
Sayangnya, tepat dua tahun yang lalu kabar duka menghampirinya. Anak kelimanya menghembuskan nafas yang terakhir. Dia menyusul sang ayah yang sudah berpulang lebih sejak 20 tahun yang lalu.
Saat ini Wo Supi tinggal bertiga dengan cucu dan menantunya. Semenjak ditinggal istrinya sang menantu tidak menikah lagi. Dia hanya berfokus membesarkan sang anak dengan bekerja di toko emas. Gaji yang didapatnya digabung dengan hasil dari dagangan Wo Supi untuk biaya makan sehari-hari dan uang jajan.
Sementara itu, tak terasa sudah hampir 13 tahun Wo Supi membesarkan sang cucu. Namanya Ulfi Kharisma Indah dan kini duduk di kelas tujuh.
Gemar Menabung
Uang yang diperoleh dari hasil berjualan tidak Wo Supi habiskan semuanya. Sebagian besar uag tersebut dia tabung.
Dari hasil tabungannya sudah terkumpul sekitar Rp 4 juta rupiah. Uang ini nantinya akan dia gunakan untuk keperluan mendadak. Misalnya kala anaknya yang lain meminjam uang.
Hal menarik lainnya dari Wo Supi adalah dia masih sanggup untuk menunaikan ibadah puasa. Rupanya dia memiliki rahasia tersendiri, yaitu dengan makan tiga suap nasi putih setiap pagi hari, selain minum secangkir kopi hangat dan satu gorengan.
Wo Supi juga masih bisa membedakan uang yang ada. Baik selembar dua ribu, sepuluh ribu, lima puluh ribu, dua puluh ribu dan lima ribu. Wo Supi sempat menunjukkan beberapa lembar uang dengan pecahan berbeda untuk membuktikan kemampuannya tersebut.
Lansia yang suka bercanda itu pun menjelaskan dirinya bukan orang bodoh dan penglihatannya masih awas. “Saya masih membedakan pecahan uang kertas, saya nggak sebodoh itu. Saya juga masih sehat dan kuat berpuasa, rahasianya tiga sendok nasi putih dimakan di pagi hari” tutupnya.